Ungkapan “Minal 'Aidin wal-Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin” memang terdengar sangat indah dan berirama di telinga. Bagaimana tidak? Kedua kalimatnya berima dan kedua kalimatnya terdiri dari 9 suku kata. Apakah kualitas irama tersebut berubah ketika urutannya diubah menjadi “Mohon Maaf Lahir dan Batin, Minal 'Aidin wal-Faizin”? Loh, memangnya ada yang salah? Kenapa urutannya dirubah? Dalam ungkapan yang setidaknya sudah dipakai selama 57 tahun ini, kalimat pertama adalah kalimat berbahasa Arab, dan kalimat kedua adalah kalimat berbahasa Indonesia. Kenapa bahasa Indonesia harus disimpan di bagian belakang?
Beberapa orang bisa jadi tidak mau memperdebatkan posisi bahasa Arab karena statusnya yang sakral dan mutlak dalam sistem kepercayaan mereka, sebuah perspektif yang harus dihormati. Apakah sah-sah saja jika Bahasa Indonesia “naik pangkat” dan ungkapan dirubah menjadi “Mohon Maaf Lahir dan Batin, Minal 'Aidin wal-Faizin”? Mari kita lihat dari perspektif Agama dan Bahasa.
Beberapa orang bisa jadi tidak mau memperdebatkan posisi bahasa Arab karena statusnya yang sakral dan mutlak dalam sistem kepercayaan mereka, sebuah perspektif yang harus dihormati. Apakah sah-sah saja jika Bahasa Indonesia “naik pangkat” dan ungkapan dirubah menjadi “Mohon Maaf Lahir dan Batin, Minal 'Aidin wal-Faizin”? Mari kita lihat dari perspektif Agama dan Bahasa.
1. Perspektif Agama
Apakah kalimat minal aidin walfaidzin merupakan sebuah doa ataukah hanya sekedar seruan saja? Dilihat dari maknanya, ungkapan ini dapat dimaknai sebagai “semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang” sehingga ungkapan ini bersifat sebagai sebuah pengharapan (doa). Hal ini berbeda dengan ungkapan “Eid Mubarak” (Hari raya penuh berkah) yang lazim ditemui di negara muslim lain yang berfungsi sebagai seruan saja.
Apakah kalimat minal aidin walfaidzin merupakan sebuah doa ataukah hanya sekedar seruan saja? Dilihat dari maknanya, ungkapan ini dapat dimaknai sebagai “semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang” sehingga ungkapan ini bersifat sebagai sebuah pengharapan (doa). Hal ini berbeda dengan ungkapan “Eid Mubarak” (Hari raya penuh berkah) yang lazim ditemui di negara muslim lain yang berfungsi sebagai seruan saja.
Berbeda
dengan konteks solat, dimana jelas diterangkan bahwa bacaannya harus
berbahasa Arab, kegiatan berdoa boleh menggunakan bahasa non Arab.
Tuasikal, dengan merujuk pada pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
menyebutkan bahwa dalam hal berdoa, seorang muslim tidak dilarang
menggunakan bahasa ibunya. Ini akan membuat seseorang memahami betul isi
dari doa yang dia panjatkan (2010).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ungkapan Minal 'Aidin wal-Faizin ini tidak akan dimengerti oleh penutur bahasa Arab karena maknanya yang hanya bisa dimengerti kata per kata saja. Selain itu, kalimat ini bukan merupakan kalimat yang diambil dari kitab suci atau tulisan sakral lainnya. Ungkapan ini pertama kali dipopulerkan oleh Shafiyuddin Al-Huli, seorang penyair pada masa Al-Andalus, dalam syairnya yang mengisahkan dendang wanita di hari raya.
Sebagai kesimpulan, ucapan Minal Aidin Walfaidzin memang memiliki makna pengharapan (doa). Namun, aturan agama memperbolehkan penggunaan bahasa non Arab dalam berdoa. Menurut saya, demi pemartabatan bahasa Indonesia, sah-sah saja jika bahasa Arab tidak dikedepankan dan bahasa Indonesia “dinaikpangkatkan”. Lebih jauh, tidak menjadi masalah jika kalimat Minal 'Aidin wal-Faizin diganti menjadi translasinya dalam bahasa Indonesia “Semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang”.
“Berdoa boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap doa dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”Meskipun demikian, seorang muslim idealnya menggunakan kalimat-kalimat berbahasa Arab yang ada dalam kitab sucinya untuk mengutarakan pengharapannya kepada Tuhan karena kata-kata yang datang dari Tuhan pun disampaikan dalam bahasa Arab (Sherrif, n/a).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ungkapan Minal 'Aidin wal-Faizin ini tidak akan dimengerti oleh penutur bahasa Arab karena maknanya yang hanya bisa dimengerti kata per kata saja. Selain itu, kalimat ini bukan merupakan kalimat yang diambil dari kitab suci atau tulisan sakral lainnya. Ungkapan ini pertama kali dipopulerkan oleh Shafiyuddin Al-Huli, seorang penyair pada masa Al-Andalus, dalam syairnya yang mengisahkan dendang wanita di hari raya.
Sebagai kesimpulan, ucapan Minal Aidin Walfaidzin memang memiliki makna pengharapan (doa). Namun, aturan agama memperbolehkan penggunaan bahasa non Arab dalam berdoa. Menurut saya, demi pemartabatan bahasa Indonesia, sah-sah saja jika bahasa Arab tidak dikedepankan dan bahasa Indonesia “dinaikpangkatkan”. Lebih jauh, tidak menjadi masalah jika kalimat Minal 'Aidin wal-Faizin diganti menjadi translasinya dalam bahasa Indonesia “Semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang”.
2. Perspektif Bahasa
Beberapa orang bisa jadi tidak mau memperdebatkan posisi bahasa Arab karena statusnya yang sakral dan mutlak dalam sistem kepercayaan mereka, sebuah perspektif yang harus dihormati. Namun, jika dilihat dari perspektif bahasa, bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Kalimat اطفح بسمّ الهاري tidak lebih suci dari padanannya dalam bahasa Indonesia “mampus lo!” atau dalam bahasa Sunda “modar siah!”
Dari perspektif sosiolinguistik, dalam sebuah komunitas sosial masa kini akan selalu terdapat bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahasa asing. Bahasa Arab merupakan bahasa asing bagi bangsa Indonesia yang memiliki nilai keagamaan bagi para umat Muslim Indonesia. Lebih jauh, seperti yang dapat disimpulkan dari situs al-islam.org, bahasa yang termasuk dalam keluarga bahasa semitik ini juga memiliki fungsi sebagai bahasa pemersatu umat Muslim di seluruh dunia. Demi penghargaan dan pemertahanan bahasa ibu, sebuah bahasa asing idealnya tidak “menjajah” keberadaan bahasa Ibu.
Dari perspektif semantik, kalimat Minal 'Aidin wal-Faizin sebenarnya berbeda arti dengan kalimat mohon maaf lahir dan batin. Dua kalimat berima ini bukan merupakan pasangan teks asli dan translasi. Keduanya berdiri sendiri. Minal 'Aidin wal-Faizin memiliki arti harfiah “Dari (yang) kembali dan berhasil” dan kemudian dimaknai “Semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang” tapi tidak dimaknai sebagai “Mohon maaf lahir dan batin”. Jika kedua kalimat independen ini disandingkan, kombinasi mana yang lebih masuk di akal?
Beberapa orang bisa jadi tidak mau memperdebatkan posisi bahasa Arab karena statusnya yang sakral dan mutlak dalam sistem kepercayaan mereka, sebuah perspektif yang harus dihormati. Namun, jika dilihat dari perspektif bahasa, bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Kalimat اطفح بسمّ الهاري tidak lebih suci dari padanannya dalam bahasa Indonesia “mampus lo!” atau dalam bahasa Sunda “modar siah!”
Dari perspektif sosiolinguistik, dalam sebuah komunitas sosial masa kini akan selalu terdapat bahasa ibu, bahasa kedua, dan bahasa asing. Bahasa Arab merupakan bahasa asing bagi bangsa Indonesia yang memiliki nilai keagamaan bagi para umat Muslim Indonesia. Lebih jauh, seperti yang dapat disimpulkan dari situs al-islam.org, bahasa yang termasuk dalam keluarga bahasa semitik ini juga memiliki fungsi sebagai bahasa pemersatu umat Muslim di seluruh dunia. Demi penghargaan dan pemertahanan bahasa ibu, sebuah bahasa asing idealnya tidak “menjajah” keberadaan bahasa Ibu.
Dari perspektif semantik, kalimat Minal 'Aidin wal-Faizin sebenarnya berbeda arti dengan kalimat mohon maaf lahir dan batin. Dua kalimat berima ini bukan merupakan pasangan teks asli dan translasi. Keduanya berdiri sendiri. Minal 'Aidin wal-Faizin memiliki arti harfiah “Dari (yang) kembali dan berhasil” dan kemudian dimaknai “Semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang” tapi tidak dimaknai sebagai “Mohon maaf lahir dan batin”. Jika kedua kalimat independen ini disandingkan, kombinasi mana yang lebih masuk di akal?
(1) Semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang, mohon maaf lahir dan batin.
atau
(2) Mohon maaf lahir dan batin, semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang.
Bagi saya, keduanya memiliki makna keseluruhan yang sama (kecuali perbedaan dalam hal metafungsi tekstual).
Dari perspektif Systemic Functional Linguistic, tepatnya metafungsi tekstual, bagian dari sebuah wacana yang ditempatkan di awal selalu dianggap sebagai bagian yang dianggap paling penting. Jika bahasa Arab ditempatkan di awal, dapat diasumsikan bahwa bagi si penutur sebuah ujaran atau penulis sebuah tulisan, bahasa Arab lebih penting daripada bahasa Indonesia. Bisa jadi si penutur ingin menonjolkan identitasnya sebagai seorang Muslim dengan cara mengedepankan bahasa pemersatu kaum Muslim. Jika hanya dilihat dari makna semantiknya, kombinasi ucapan hari raya (1) menunjukkan bahwa ungkapan ‘harapan’ dianggap lebih penting daripada ungkapan ‘permintaan maaf’. Sebaliknya, kombinasi ucapan hari raya (2) menunjukkan ungkapan ‘permintaan maaf’ lebih penting daripada ungkapan ‘harapan’. Dua kombinasi ini memiliki makna keseluruhan yang sama.
Jadi, dilihat dari perspektif bahasa, demi pemartabatan bahasa Indonesia, sah-sah saja jika ungkapan di hari Idul Fitri dirubah menjadi “mohon maaf lahir dan batin, minal aidin walfaidzin” atau “mohon maaf lahir dan batin, semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Tidak ada perubahan dari makna keseluruhan.
Dari perspektif Systemic Functional Linguistic, tepatnya metafungsi tekstual, bagian dari sebuah wacana yang ditempatkan di awal selalu dianggap sebagai bagian yang dianggap paling penting. Jika bahasa Arab ditempatkan di awal, dapat diasumsikan bahwa bagi si penutur sebuah ujaran atau penulis sebuah tulisan, bahasa Arab lebih penting daripada bahasa Indonesia. Bisa jadi si penutur ingin menonjolkan identitasnya sebagai seorang Muslim dengan cara mengedepankan bahasa pemersatu kaum Muslim. Jika hanya dilihat dari makna semantiknya, kombinasi ucapan hari raya (1) menunjukkan bahwa ungkapan ‘harapan’ dianggap lebih penting daripada ungkapan ‘permintaan maaf’. Sebaliknya, kombinasi ucapan hari raya (2) menunjukkan ungkapan ‘permintaan maaf’ lebih penting daripada ungkapan ‘harapan’. Dua kombinasi ini memiliki makna keseluruhan yang sama.
Jadi, dilihat dari perspektif bahasa, demi pemartabatan bahasa Indonesia, sah-sah saja jika ungkapan di hari Idul Fitri dirubah menjadi “mohon maaf lahir dan batin, minal aidin walfaidzin” atau “mohon maaf lahir dan batin, semoga anda termasuk orang yang kembali dan orang-orang yang menang. Tidak ada perubahan dari makna keseluruhan.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, tidak ada alasan yang kuat bagi kita untuk melarang orang mengucapkan ucapan hari raya dengan cara yang berbeda, yang lebih mengedepankan bahasa Indonesia. Di hari raya Idul Fitri tahun ini atau tahun-tahun yang akan datang, tidak ada yang salah dengan tetap menggunakan ungkapan “minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin”. Tapi, jika kita ingin mengedepankan identitas sebagai orang Indonesia, tidak ada salahnya kita mulai mencoba mengubah kebiasaan kita dan perlahan memartabatkan bahasa Indonesia. (Daftar rujukan)
Tentang penulis:
Riza Purnama adalah seorang Duta Bahasa yang secara resmi bergabung di tahun 2014. Pria kelahiran 1 Maret 1992 ini adalah penerima beasiswa LPDP ke University College London untuk meraih gelar master dalam bidang Linguistik Terapan. Jajaka Kabupaten Sukabumi lulusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI ini juga telah meraih beberapa prestasi lain seperti menjadi pemenang British Council IELTS Prize tingkat Asia tahun 2015, penerima Beasiswa Djarum 2011-2012, serta presiden Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, UPI (2011).
Apakah kamu Duta Bahasa selanjutnya?
Segera tuangkan pemikiranmu ke dalam esai bertemakan budaya literasi dan tunjukkan bahwa kamu adalah Duta Bahasa selanjutnya! Lihat persyaratannya di sini (dubas dewasa) dan di sini (dubas pelajar) serta unduh formulirnya di sini (dubas dewasa) dan di sini (dubas pelajar). Jadilah pejuang yang siap menyebarkan virus-virus kebahasaan!
Jangan lupa ikuti kami di Facebook, Twitter, Instagram, dan Line (Duta Bahasa Jabar) untuk informasi terkini terkait pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2016 dan seputar kegiatan Dubas Jabar.
"Berbudaya Literasi, Membangun Bahasa!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar