Jumat, 24 Juni 2016

Indonesia dan Literasi




www.weheartit.com
“Buku adalah jendela untuk melihat dunia”

Ungkapan di atas sudah tidak asing lagi di telinga kita. Pesan tentang pentingnya membaca dapat ditemukan di sudut sekolah, iklan layanan masyarakat, dan bahkan di mainan yang dijajakan pedagang pinggir jalan. Jika ungkapan tersebut diresapi secara mendalam, maka masyarakat Indonesia akan memiliki kemampuan literasi yang tinggi dan dunia akan ada dalam genggaman. Namun, sepertinya masih banyak orang yang belum begitu paham akan pentingnya melihat dunia melalui buku sebagai jendela pengetahuan. 
Jika literasi didefinisikan sebagai “kemampuan membaca dan menulis”, maka Indonesia bisa berbangga diri. Menurut data yang dipublikasikan UNESCO pada tahun 2011, lebih dari 92% masyarakat Indonesia memiliki kemampuan membaca dan menulis. Angka tersebut akan terus bertambah seiring meningkatnya kemudahan mengakses sumber pengetahuan dan digalakannya program pendidikan di pelosok negeri. Namun, jika mengutip Bachrudin Musthafa yang menambahkan “kemampuan berpikir kritis” pada definisi literasi, maka Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Univeristy of Connecticut, Indonesia merupakan negara dengan tingkat literasi terendah ke-2 di dunia. Melihat hasil survei tersebut, mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Indonesia, negara di mana 92% warga negaranya bisa membaca dan menulis, menempati peringkat terendah dalam hal literasi? 
Mungkin tingkat literasi di Indonesia dianggap rendah karena kemampuan berpikir kritis yang menjadi elemen penting literasi belum banyak dikuasai masyarakat, atau mungkin, masyarakat bisa membaca dan menulis, namun tidak gemar membaca dan menulis. Apapaun penyebabnya, masalah tingkat literasi di Indonesia perlu ditangani bersama-sama. Literasi erat kaitannya dengan banyak hal. Bahkan, bisa dibilang literasi adalah kunci memahami berbagai hal di dunia yang tertuang dalam bacaan. Jika masyarakat di sebuah negara memiliki tingkat literasi tinggi, maka negara tersebut akan memiliki reprositori besar dan beragam opsi untuk menangani masalah dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya. Namun, agar literasi berpengaruh terhadap kemajuan sebuah negara, tingkat literasi yang tinggi harus dimiliki oleh berbagai lapisan masyarakat. Jika tingkat literasi tinggi hanya dimiliki oleh segelintir orang, maka akan terjadi masalah seperti ketimpangan antara kebijakan dan penerapannya. 
Hal itulah yang tampaknya sedang terjadi di Indonesia. Tidak sedikit orang Indonesia yang literat dan mampu menciptakan peraturan yang bermanfaat, namun banyak masyarakat yang belum bisa membaca dan memahami manfaat penerapan peraturan yang dibuat. Ambil saja contoh penerapan kebijakan penanganan kemacetan, penertiban pedagang kaki lima, dan pengendalian sampah. Pelanggaran seperti memasuki jalur khusus bus TransJakarta, berjualan di zona bebas PKL dan membuang sampah sembarangan, cenderung terjadi karena pelaku pelanggaran tidak memahami masalah sistemik yang timbul dari tindakan ‘kecil’ yang mereka lakukan. Pemahaman dan pemikiran jauh ke depan yang menciptakan masyarakat tertib dan sadar peraturan dapat diperoleh jika kegiatan literasi seperti membaca sudah membudaya. 

Ada berbagai cara yang bisa digunakan untuk menumbuhkan budaya literasi di masyarakat. Salah satunya adalah pemberian akses terhadap sumber informasi seperti buku dan internet. Solusi yang biasanya diterapkan oleh organisasi sosial dan kepemudaan ini biasanya ditujukan untuk membantu masyarakat menengah ke bawah yang memiliki kesulitan mengakses sumber informasi. Hal ini tentu akan membantu peningkatan literasi masyarakat. Namun, perlu diingat bahwa masalah literasi terjadi bukan hanya karena ketiadaan sumber informasi. Masyarakat kota yang cenderung memiliki kemudahan akses sumber informasi pun masih banyak yang mengalami masalah literasi. Oleh karena itu, gerakan peningkatan literasi harus ditujukkan untuk semua kalangan. Solusi yang bisa diterapkan untuk semua kalangan salah satunya adalah pemberian apresiasi dan penghargaan bagi mereka yang gemar membaca. 
Literasi bukanlah sekedar kemampuan membaca dan menulis. Masyarakat yang literat adalah mereka yang mampu memahami sebuah permasalahan secara kritis dan mendalam. Perjalanan Indonesia untuk menjadi bangsa yang maju dan literat masih panjang jika melihat hasil survei tingkat literasi negara-negara di dunia. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya literasi perlu terus digalakan. Kegiatan tersebut harus ditujukkan untuk semua lapisan masyarakat. Tingkat literasi yang tinggi hanya akan berpengaruh jika semua elemen masyarakat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.






Tentang penulis:
Ihsan Nur Iman Faris adalah Juara ke-3 ajang Pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2015. Saat ini, penulis bekerja sebagai instruktur bahasa Inggris di Balai Bahasa UPI Bandung. Kepeduliannya terhadap literasi di Indonesia ditunjukkan dengan aktivitasnya di The Bottles Indonesia di mana anak-anak dapat belajar bahasa Inggris secara gratis dengan mengumpulkan setidaknya lima botol plastik bekas. Selain mengajar, penulis juga aktif dalam kegiatan sosial dan kepemudaan bersama Purnacaraka Muda Indonesia (PCMI) Jawa Barat dan Young Southeast Asian Initiative (YSEALI). Penulis dapat dihubungi di alamat surel: ihsannif(at)gmail(dot)com.


 


Apakah kamu Duta Bahasa selanjutnya?
Segera tuangkan pemikiranmu ke dalam esai bertemakan budaya literasi dan tunjukkan bahwa kamu adalah Duta Bahasa selanjutnya! Lihat persyaratannya di sini serta unduh formulirnya di Google Drive, Mediafire, atau 4shared. Jadilah pejuang yang siap menyebarkan virus-virus kebahasaan! Jangan lupa ikuti kami di Facebook, Twitter, Instagram, dan Line (Duta Bahasa Jabar) untuk informasi terkini terkait pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2016 dan seputar kegiatan Dubas Jabar.

 
"Berbudaya Literasi, Membangun Bahasa!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar