Indonesia merupakan negara yang penuh dengan ragam suku budaya dan bahasa. Menurut hasil Kongres Bahasa Indonesia IX di Jakarta, pada 28 Oktober-1 November 2008, Indonesia memiliki lebih dari 746 bahasa daerah. Sebagaimana Finochiaro menyebutkan bahwa 'language is a system of arbitrary, vocal symbols which permits all people in a given culture, or other people who have learned the system of the culture, to communicate or to interact', bisa disimpulkan bahwa bahasa merupakan bagian dari suatu budaya yang bertujuan untuk menjadi sarana komunikasi antar masyarakat dengan sistem budaya yang sama. Dari ratusan bahasa daerah yang ada, Indonesia menjadikan Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Namun, keadaan sudah berbanding terbalik dari sistem yang seharusnya berlaku. Bahasa daerah yang menjadi alat komunikasi dalam suatu sistem budaya di suatu daerah tidak jarang diacuhkan. Sebagai contoh, Jawa Barat yang memiliki Bahasa Sunda.
Tidak sedikit dari masyarakat Jawa Barat sendiri, khususnya para remaja, berkata bahwa Bahasa Sunda termasuk bahasa yang tidak lagi diminati. Melihat bagaimana pengaruh globalisasi yang menjadi salah satu faktor pemicu dari masalah tersebut, membuat masyarakat lebih tertarik mempelajari dan bahkan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar. Padahal, sudah jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia memakai Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu yang juga digunakan sebagai bahasa pengantar di Indonesia. Bahasa ibu sendiri diabaikan, apa jadinya dengan bahasa daerah?
Banyak orang yang tidak paham bahwa Bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa yang cukup unik dan sempurna. Seperti adanya undak usuk basa sunda yang memberi pelajaran tentang tata krama berbahasa. Bahasa Sunda membedakan cara berbicara kepada yang lebih muda, sebaya, dan juga yang lebih tua. Jika dibedakan dengan bahasa yang lain, pasti tidak banyak bahasa yang menggunakan tata krama seperti ini.
Sebagai contoh, kata 'makan' dapat dibedakan menjadi beberapa kata dalam Bahasa Sunda, seperti dahar, nyatu, neda, tuang, dan lolodok. Semua kata itu bisa dipakai sesuai kondisi dengan siapa kita berbicara. Ada juga kata yang tidak kalah unik, jatuh. Dalam Bahasa Inggris hanya ada kata fall, tetapi Bahasa Sunda menerapkan kata yang berbeda sesuai dengan bagaimana cara jatuh yang dialami. Seperti tijengkang, tikojot, tijalikeuh, tikusruk, dan kata-kata lain yang menggambarkan kejadian jatuh tersebut dengan lebih spesifik.
Sebagian orang menyerah dan bahkan tidak ingin mempelajari Bahasa Sunda sekonyong-konyong karena sulit dan memiliki banyak aturan, karena undak usuk basa sendiri misalnya. Ada pula yang beranggapan bahwa Bahasa Sunda sudah tidak bergengsi, kampungan, dan ketinggalan zaman.
Mereka yang berkata seperti itu tidak mengetahui keindahan apa yang ditanamkan pada Bahasa Sunda. Bahasa Sunda tidak hanya mengajarkan cara untuk berkomunikasi dengan sebangsa, tapi juga mengajarkan tata krama yang dijunjung tinggi sebagai identitas Suku Sunda. Sebagaimana bahasa yang menjadi salah satu identitas negara, bahasa juga menjadi identitas untuk memperlihatkan jati diri seseorang yang sebenarnya. Seperti apa yang dikatakan dalam peribahasa Bahasa Sunda, 'hade goreng ku basa', membuat masyarakat seharusnya berbangga dengan moral-moral yang ditanamkan dari cara kita memakai Bahasa Sunda dengan baik dan benar. Dengan keberadaan Bahasa Sunda yang memberi banyak kontribusi untuk kepekaan masyarakat terhadap moral, masihkah anda malu menggunakan Bahasa Sunda?
Zulfa Nabilah Mastur adalah Duta Bahasa Pelajar Jawa Barat Tahun 2015 yang lahir pada 10 Maret 2000. Aktivitas kesehariannya tidak lain menjalani rutinitas sekolah di SMAN 1 Lembang dan aktif menulis cerpen untuk lomba dan blognya. Dari aktivitas kepenulisannya, Zulfa telah berhasil menjadi kontributor dalam beberapa antologi cerpen seperti antologi cerpen 'Dear Friend', 'Alexandria', 'Endless 25', dan lainnya.
Apakah kamu Duta Bahasa selanjutnya?
"Berbudaya Literasi, Membangun Bahasa!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar