Senin, 27 Juni 2016

Saya Orang Indonesia, Saya Harus Beraksen Indonesia! (?)




Di artikel sebelumnya, sebuah hasil penelitian sederhana terkait kemampuan orang asing memahami aksen orang Indonesia telah disajikan. Singkat kata, meskipun tidak dapat dipahami sepenuhnya, orang asing tidak mengalami kesulitan dalam menangkap ide utama dari sebuah wacana yang disajikan oleh orang Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan: "apakah kita tidak usah mempedulikan perbedaan aksen kita?" Hal ini masih diperdebatkan. Pemikiran yang kritis dibutuhkan untuk menyikapi isu ini.


Tujuan utama kebanyakan orang dalam mempelajari bahasa Inggris adalah untuk berkomunikasi dalam skala internasional. Konsep intelligibility (apakah apa yang disampaikan dimengerti oleh orang lain) menjadi hal yang mutlak harus dimiliki. 


Semenjak istilah ‘linguistic imperialism’, penjajahan melalui bahasa, dipopulerkan oleh Philipson (1992), konsep world Englishes (Bahasa Inggris Dunia) mulai diterima oleh banyak negara. Bahasa Inggris tidak lagi dianggap sebagai bahasa orang Inggris atau orang Amerika saja.  Akibat dari World Englishes (jamak) ini adalah terlalu banyaknya variasi bahasa Inggris di dunia yang kemudian berimbas kepada ketidakjelasan standar bahasa Inggris yang dipakai sebagai standar. Setiap bangsa bersikeras mempertahankan ciri khas mereka dalam berbahasa Inggris sehingga apa yang dikatakan (bisa jadi) tidak dapat dimengerti oleh bangsa lain.

Kata sifat dimengerti (intelligible) dan sulit dipahami (unintelligible) sangat bersifat relatif. Dalam konteks komunikasi internasional, siapa yang memiliki otoritas untuk menilai apakah sebuah aksen dapat dimengerti/ sulit dipahami? 



1. Jika otoritas tersebut diberikan kepada penutur asli, para alarmist akan bersikeras bahwa hal tersebut sama saja dengan berpasrah untuk kembali dijajah (secara bahasa). Selain itu, mengingat sulitnya menguasai "Bahasa Inggris Standar"/ "Aksen BBC", pembelajar bahasa Inggris yang bahasa ibunya berbeda jauh dari bahasa Inggris akan mengalami banyak kesulitan.
 
2. Jika otoritas tersebut diberikan kepada komunitas internasional, kebingungan akan dialami karena tidak adanya standar yang jelas dan semua bangsa bersikeras untuk menonjolkan identitas kebangsaannya melalui pemertahanan karakteristik fonologis mereka dalam berbahasa Inggris. Hal ini kemudian akan mempersulit tercapainya intelligibility dalam komunikasi skala internasional.


Menyikapi kebingungan ini, konsep Lingua Franca Core (Jenkins, 2000) kemudian muncul. Dalam LFC ini disebutkan beberapa fitur utama yang harus dimiliki seorang pembelajar bahasa Inggris agar dapat dimengerti oleh komunitas internasional. Dalam LFC disebutkan bahwa tidak semua fitur fonologis bahasa Inggris penutur asli harus dikuasai. Dalam kaitannya dengan pembelajar orang Indonesia, tetap saja ada beberapa hal yang harus dipelajari agar Bahasa Inggris kita sesuai dengan LFC. Misalnya, kita harus belajar tentang letak penekanan suku kata pada kata yang memiliki lebih dari satu suku kata seperti: "In my opinion, English is very important". 


Menjadi seorang duta bahasa bukan berarti harus menjadi seorang alarmist tetapi menjadi seseorang yang memiliki pemikiran kritis. Kedua argumen yang disampaikan sebelumnya harus dipertimbangkan dalam menentukan sebuah sikap. Saya, misalnya, tidak memberikan label yang negatif kepada orang yang dianggap 'terjajah secara bahasa' namun juga tidak sepenuhnya setuju dengan mereka yang bersikeras menunjukkan identitasnya sebagai orang Indonesia dalam komunikasi berbahasa Inggris.  
 
Sebagai kesimpulan, berikut adalah saran saya dalam menyikapi topik 'Saya Orang Indonesia, Saya Harus Beraksen Indonesia'. Pertama, tidak usah ada rasa maludengan aksen Indonesia dan mulailah belajar. Kedua, setelah kelancaran dan percaya diri dalam berbahasa Inggris diperoleh, pembelajaran boleh dihentikan atau dilanjutkan menuju ketercapaian standar LFC. Pembelajaran lebih lanjut ke arah 'aksen BBC' atau 'aksen Amerika' bisa dilaksanakan oleh mereka yang berkeinginan. Tentunya, tanpa melupakan identitas sebagai seorang bangsa Indonesia yang berwawasan mancanegara.



Tentang penulis: 


Riza Purnama adalah seorang Duta Bahasa yang secara resmi bergabung di tahun 2014. Pria kelahiran 1 Maret 1992 ini adalah penerima beasiswa LPDP ke University College London untuk meraih gelar master dalam bidang Linguistik Terapan. Jajaka Kabupaten Sukabumi lulusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI ini juga telah meraih beberapa prestasi lain seperti menjadi pemenang British Council IELTS Prize tingkat Asia tahun 2015, penerima Beasiswa Djarum 2011-2012, serta presiden Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, UPI (2011).  




Apakah kamu Duta Bahasa selanjutnya?
Segera tuangkan pemikiranmu ke dalam esai bertemakan budaya literasi dan tunjukkan bahwa kamu adalah Duta Bahasa selanjutnya! Lihat persyaratannya di sini serta unduh formulirnya di Google Drive, Mediafire, atau 4shared. Jadilah pejuang yang siap menyebarkan virus-virus kebahasaan! 


Jangan lupa ikuti kami di FacebookTwitterInstagram, dan Line (Duta Bahasa Jabar) untuk informasi terkini terkait pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2016 dan seputar kegiatan Dubas Jabar.

"Berbudaya Literasi, Membangun Bahasa!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar